Sunday, February 18, 2007

nnnn








nnn

idealolmrgreenquestionrolleyessadtwistedwink

Read More...

Tuesday, February 13, 2007

Orang Tua Rasullulah - kata Taimiyyah


Ibnu taimiyyah juga berkeyakinan bahwa orang tua rasulullah saw
berada di neraka, dan rasulullah saw dilarang untuk memintakan
ampunan kepada mereka [Ikhthaza us Sirathul Mustaqim oleh Ibnu
Taimiyyah hal. 401]. Padahal Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi
tempat bersemayamnya nur [nur rasulullah saw] itu adalah sulbi-sulbi
orang-orang suci.



Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang
Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn,
orang-orang patuh. Allah berfir-man:Dan bertawakallah kepada Tuhan
Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau
bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS.
26:217-219). Al Allamah Jalaluddin Suyuti dan Qadhi Ibn `Arabi
menulis : Barang siapa mengatakan kedua orang tua rasulullah saw
kafir maka terlaknat dan tempatnya di neraka. ["Manifa fi abbaya
Shareefa" oleh Allamah al Hafidh Jalaluddin Suyuti, "Risala Turzul
Imama" oleh Qadhi Ibn Arabi]

Ibnu Taimiyyah juga memfitnah rasulullah saw dengan mengatakan: "
Pendapat yang mengatakan bahwa rasulullah saw terjaga dari dosa
besar tapi tidak terjaga dari dosa kecil , adalah bukan hanya
pendapat mayoritas ulama islam dan seluruh madzhab, melainkan
pendapat semua kalangan ahli tafsir, ahli hadist, dan para
fuqaha.Tidak ada riwayat dari para sahabat, tabi'in , para imam
salaf yang tidak setuju dengan pendapat ini. [majmu' al fatawa oleh
Ibnu Taimiyyah vol 4 hal. 319 - 320] Padahal Nabi Muhammad saw
adalah manu-sia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa.

Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya,
dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw
dengan yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33: " Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya" .

Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt. Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertu-tur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan se-muanya semata-mata adalah wahyu yang di-wahyukan kepadanya (QS. 53:3-4).

Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah.
Allah berfirman: "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu." (QS.33:21). Karena itu, maka "Apa pun yang di-bawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarang-nya harus kamu jauhi." (QS. 59:7)


Read More...

Kitab yang membantah keyakinan- Ibnu Taimiyyah


Di dalam kitab ad-Durar al-Kaminah, karya Ibnu Hajar al-'Asqalani,
jilid 1, halaman 141 disebutkan, "Dari sana sini orang menolaknya.
Tidaklah kebohongan dan pikiran-pikiran ganjil yang diciptakan oleh
tangannya yang berlumuran dosa itu berasal dari Al-Qur'an, sunah,
ijmak dan qiyas.



Dan di kota Damaskus diumumkan, 'Barangsiapa yang
berpegang kepada akidah Ibnu Taimiyyah, darah dan hartanya halal.'"
Al-Hafidz Abdul Kafi as-Subki telah berkata tentangnya. Dia juga
telah menulis sebuah kitab yang membantah keyakinan-keyakinan Ibnu
Taimiyyah, yang diberinya judul Syifa al-Asqamfi Ziyarah Khair al-
Anam 'alaihi ash-Shalah wa as-Salam.

Al-Hafidz Abdul Kafi as-Subki telah berkata di dalam pengantar
kitabnya, yang berjudul ad-Durrah al-Mudhi'ahfi ar-Radd 'ala Ibnu
Taimiyyah, "Manakala Ibnu Taimiyyah membuat sesuatu yang baru
(bid'ah) di dalam bidang dasar2 keyakinan (ushul al-'aqa'id), dan
merusak pilar2 Islam, setelah sebelumnya dia bersembunyi dengan
slogan mengikuti Al-Qur'an dan sunah, menampakkan diri sebagai
penyeru kepada kebenaran, dan petunjuk kepada jalan surga, maka dia
telah keluar dari mengikuti Al-Qur'an dan sunah kepada membuat
bid'ah, menyimpang dari jamaah kaum Muslimin dengan meyalahi ijmak,
dan mengatakan sesuatu yang menuntut timbulya keyakinan tajsim dan
tarkib pada Zat Yang Mahasuci, dan keyakinan yang mengatakan bahwa
butuhnya Allah SWT kepada bagian-Nya bukanlah sesuatu yang
mustahil." [Al-Milal wa an-Nihal, jld 4, hal 42, Syahrestani]
Berpuluh-puluh ulama telah mengecam dan memprotesnya. Namun kita
tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengemukakan dan meneliti
perkataan-perkataan mereka satu persatu. Pada kesempatan ini kita
cukup mengemukakan apa yang telah dikatakan oleh Syihabuddin Ibnu
Hajar al-Haitsami.

Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami berkata di dalam biografi Ibnu
Taimiyyah, "Ibnu Tamiyyah adalah seorang hamba yang telah
dipermalukan oleh Allah, telah disesatkan-Nya, telah dibutakan-Nya,
telah dibisukan-Nya dan telah dihinakan-Nya. Oleh karena itu, para
imam secara terang-terangan menjelaskan kejelekan-kejelakan
keadaannya, dan mendustakan perkataan-perkataannya. Barangsiapa yang
ingin mengetahui hal itu, dia harus menelaah Imam al-Mujtahid, yang
disepakati keimamahan dan derajat kemujtahidannya, yaitu Abul Hasan
as-Subki, dan juga putranya, Syeikh al-Imam al-'Izz bin Jamaah, yang
merupakan ahli jamannya.

Ibnu Taimiyyah tidak hanya mengecam generasi salaf ter-akhir dari
kalangan sufi, melainkan juga mengecam orang seperti Umar bin
Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Alhasil, perkataan Ibnu
Taimiyyah tidak dapat dijadikan ukuran, melainkan harus dicampak-kan
dengan penuh kehinaan. Abul Hasan as-Subki berkata, 'lbnu Tamiyyah
adalah pembuat bid'ah, sesat, menyesatkan, dan berlebih-lebihan.
Semoga Allah memperlakukannya dengan keadilan-Nya, dan melindungi
kita dari jalan, keyakinan dan perbuatan seperti jalan, keyakinan
dan perbuatannya. Amin!" [Al-Milal wa an-Nihal, jld 4, hal 42]


Read More...

Ibnu Taimiyyah menyembunyikan keyakinan?


Ibnu Taimiyyah menyembunyikan keyakinan2 ini dengan label keyakinan salaf. Dia membuat kebohongan atas salaf dan berlindung kepada mereka, dengan tujuan untuk menyembunyikan kejelekan2 keyakinannya.



Syahrestani membantah pengakuan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa mazhabnya adalah mazhab salaf di dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal,"Sekelompok orang2 terkemudian bersikap berlebihan atas apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf. Mereka mengatakan, 'Ayat2 ini
mau tidak mau harus diterapkan pada makna zhahirnya', sehingga
mereka pun jatuh ke dalam paham tasybih semata. Yang demikian itu
jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh kalangan salaf.
Paham tasybih hanya ada pada orang-orang Yahudi, namun tidak pada
seluruh mereka," [Al-Milal wa an-Nihal, hal 84]

Ibnu Taimiyyah telah menipu masyarakat umum dengan generalisasi yang
dia lakukan. Sebagai contoh, dia mengatakan, "Adapun yang saya
katakan dan tulis sekarang, meskipun saya belum pernah me-nuliskannya pada jawaban2 saya yang telah lalu, namun saya sudah
sering mengatakan di majlis2, 'Sesungguhnya berkenaan dengan seluruh
ayat sifat yang terdapat di dalam Al-Qur'an, tidak terdapat
perselisihan di kalangan para sahabat di dalam pentakwilannya. Saya
telah membaca berbagai tafsir yang ternukil dari para sahabat,
begitu juga hadis2 yang mereka riwayatkan, dan saya juga telah
menelaah banyak sekali kitab2 baik yang besar maupun yang kecil,
yang jumlahnya lebih dari seratus kitab tafsir, namun saya belum
menemukan seorang pun dari para sahabat, hingga saat ini, yang
mentakwil ayat2 sifat atau hadis2 sifat dengan sesuatu yang
bertentangan dengan pengertiannya yang sudah dikenal." [Tafsir Surah an-Nur, Ibnu Taimiyyah, hal 178 - 179]

Dengan cara inilah masyarakat umum membenarkan perkataannya. Namun,dengan sedikit saja kita merujuk kepada kitab-kitab tafsir ma 'tsurah niscaya akan tampak bagi kita kebohongan Ibnu Taimiyyah. Apakah itu di dalam ketidak-merujukkannya kepada kitab-kitab tafsir, atau di dalam pengklaimannya akan tidak adanya takwil dari para sahabat berkenaan dengan ayat2 sifat. Saya kemukakan beberapa contoh berikut ini: Jika kita merujuk ke dalam kitab tafsir ath-Thabari, yang oleh Ibnu Taimiyyah digambarkan sebagai berikut, "Di dalamnya tidak terdapat bid'ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjaditertuduh." [Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51]

Ketika kita merujuk kepada ayat kursi, yang oleh Ibnu Taimiyyah
dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana
yang dia katakan di dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal
322, Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu
Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi, "Kursi Allah meliputi langit dan bumi. " Thabari berkata, "[i]Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.' Adapun riwayat lainnya
yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, 'Kursi-Nya adalah
ilmu-Nya. Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, 'Dan Allah
tidak merasa berat memelihara keduanya. '"[/i][Tafsir ath-Thabari, jld
3, hal 7]

Perhatikanlah, betapa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah tidak lain
kebohongan yang nyata. Dia mengatakan, "Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat", padahal Thabari
mengatakan, "Para ahli takwil berbeda pendapat". Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, "Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat", disertai dengan pengakuannya bahwa dia telah merujuk seratus kitab tafsir, padahal Thabari menyebutkan dua riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas.
Berikut ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir
Thabari. Pada saat menafsirkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan
Allah Mahatinggi dan Mahabesar", Thabari berkata, "Para pengkaji
berbeda pendapat tentang makna firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan
Allah Mahatinggi dan Mahabesar.' Sebagian mereka berpendapat, 'Artinya ialah, 'Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.' Mereka menolak bahwa maknanya ialah 'Dia Mahatinggi dari segi tempat.' Mereka mengatakan, Tidaklah boleh Dia tidak ada di suatu tempat. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah SWT ada di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.'"[Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9]

Demikianlah pendapat kalangan salaf. Sedangkan Ibnu Taimiyyah telah memilih jalan yang lain bagi dirinya, namun kemudian dia tidak menemukan orang yang mendukung jalannya, maka dia pun menisbahkan jalannya kepada salaf. Padahal kita melihat kalangan salaf tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah SWT, sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah SWT, di dalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah.

Bahkan, tatkala dia sampai kepada firman Allah SWT yang
berbunyi, "Sesungguhnya Allah SWT bersemayam di atas '`Arsy", dia mengatakan, "Sesung-guhnya Dia berada di atas langit." Yang dia maksud adalah tempat. [Al-'Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang
merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332].

Adapun di dalam kitab tafsir Ibnu 'Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah
dianggap sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan
beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Thabari di
dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu 'Athiyyah memberi-kan komentar
tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Thabari, yang dijadikan
pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, "Ini adalah perkataan-perkataan bodoh
dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim. Wajib hukumnya
untuk tidak menceritakannya." [Faidh al-Qadir, asy-Syaukani]
Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman
Allah SWT yang berbunyi, "Segala sesuatu pasti binasa kecuali
wajah-Nya" (QS. al-Qashash: 8Cool, dan juga firman Allah SWT yang
ber-bunyi, "Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesarandan kemuliaan" (QS. ar-Rahman: 27), di mana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah SWT dalam arti yang sesungguhnya.

Thabari berkata,"Mereka berselisih tentang makna firmanNya, 'kecuali wajah-Nya."' Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka, "Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan." [Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82].

Al-Baghawai berkata, "Yang dimaksud dengan 'kecuali wajah-Nya' ialah
'kecuali Dia'. Ada juga yang mengatakan, 'kecuali kekuasaan-Nya'."
Abul 'lyalah berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehandaki
wajah-Nya'. [Tafsir al-Baghawi]

Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata,
"Artinya ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya'."Dari Mujahid
yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki
wajahnya.'" Dari Sufyan yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh'."

Inilah pendapat kalangan salaf yang sesungguhnya. Lantas, atas dasar
apa Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang keyakinannya, "Ini adalah
keyakinan kalangan salaf "????.

Jangan Anda katakan kepadanya kecuali firman Allah SWT yang berbunyi,
"Mengapa Anda mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil, dan
menyembunyikan kebenaran, padahal Anda mengetahui?" (QS.Ali 'lmran: 71) "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kamiturunkan berupa keterangan2 (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kamimenerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknatiAllah dan dilaknati (pula) oleh orang-orang yang melaknati. " (QS.al-Baqarah: 159).

Oleh karena itu, para ulama semasanya tidak tinggal diam atas perkataan2nya. Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan
manusia untuk menjauhinya. Hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara,
dilarang menulis di dalam penjara, dan kemudian meninggal dunia di
dalam penjara di kota Damaskus, dikarenakan keyakinan2 sesatnya dan
pikiran2 ganjilnya. Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang
telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinannya.


Read More...

Taimiyah yastahiqqu dukhulal jannah?


InsyaAllah topik ini akan memberikan jawaban kepada para pembebek Ibnu Taimiyyah tentang kejahatan2 Ibnu Taimiyyah terhadap agama yg mulia ini. Kita mulai dgn Ibnu Taimiyah dan Pembantaian Imam Husein r.a cucu kesayangan nabi saw, penghulu pemuda surga.


Bagaimana pendapat Ibnu Taimiyah tentang pembunuhan al-Husein oleh Yazid? Ibnu Taimiyah bukan hanya tidak mau menyalahkan Yazid, bahkan ia telah menulis buku tentang keutamaan Yazid beserta ayahnya, Muawiyah. Buku itu ia beri judul "Fadho’il Muawiyah wa Yazid" (Keutamaan Muawiyah dan Yazid). Padahal, Dzahabi menukil pendapat Ahmad bin Hanbal yang mengatakan "Tiada satupun riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Muawiyah masuk kategori riwayat sahih".
Suatu waktu, an-Nasa’i –penulis as-Sunan yang termasuk dari enam buku standar Ahlusunnah- datang ke kota Damaskus, ibu kota kerajaan Dinasti Umayyah. Ketika itu, penduduk Damaskus meminta darinya riwayat-riwayat tentang keutamaan Muawiyah. Mendengar permintaan tersebut an-Nasa’i mengatakan:

"Saya tidak mengetahui keutamaannya, kecuali ada satu riwayat dari Rasulullah saww tentang dia, beliau bersabda: "Semoga Allah tidak akan pernah mengenyangkan perutmu".

Selain itu Al Imam Hasan al-Basri pernah mengatakan:

"Ada beberapa hal yang terdapat pada diri Muawiyah, dimana setiap satu dari sekian hal tersebut menyebabkan ia disiksa; meng-ghoshob (merampas) kekhalifahan dengan kekerasan dan pedang, mengangkat anaknya (Yazid) sang pemabuk sebagai pengganti dirinya dalam menduduki kursi kekhilafahan, memakai baju sutera, menari, Ziyad dianggap sebagai anak, sedang Hijr bin ‘Adi dan pengikutnya dizalimi hingga mati".


Adapun yang berkenaan dengan Yazid, Ibnu Taimiyah dalam beberapa tulisannya terus berusaha membelanya. Dalam tulisan Ibnu Taimiyah, upaya untuk mencari pembenaran atas prilaku Yazid pada peristiwa pembantaian di Karbala, ia mengatakan "Yazid tidak menginginkan pembunuhan Husein, ia bahkan menunjukkan ketidaksenangannya atas peritiwa tersebut". Sebagaimana Ibnu Taimiyah juga mengingkari diaraknya kepala suci Husein bin Ali as oleh bala tentara Yazid. Padahal, banyak ulama ahli sejarah dari Ahlusunnah meyakini kejadian tersebut, seperti Ibnu ‘Asakir dalam Tarjamah al-Imam Husein atau Ibnu Sa’ad dalam Tabaqat-nya. Ibnu Taimiyah pun dalam karyanya yang lain, mengingkari bahwa keluarga Husein bin Ali as ditawan oleh pasukan Yazid, padahal, banyak buku-buku sejarah Ahlusunnah sendiri menyebutkan hal tersebut, seperti Thabari dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Atsir dalam kitab al-Kamil fi at-Tarikh atau kitab al-Bidayah wa an-Nihayah. Sedang dalam kitabnya Su’al fi Yazid bin Muawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan:

"Yazid tidak pernah memerintahkan untuk membunuh Husein, kepala kepala (peristiwa Karbala) tidak dihadirkan di hadapannya, ia tidak memukul gigi-gigi kepala Husein dengan kayu. Akan tetapi, Ubaidillah bin Ziyad-lah yang melakukan itu semua".

Semua kejadian yang dinafikan oleh Ibnu Taimiyah di atas dengan jelas bisa ditemui dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Ibnu Atsir dalam kitabnya menukil ucapan Abdullah bin Abbas ra kepada Yazid, Ibnu Abbas berkata, "Engkaulah (Yazid) yang telah penyebab terbunuhnya Husein bin Ali". Ibnu Atsir dalam kitab yang sama menulis, "Yazid memberi izin kepada masyarakat untuk menemuinya sedangkan kepala Husein bin Ali as ada di sisinya, sambil ia memukuli muka kepala tersebut sembari mengucapkan syair". Sementara Taftazani, seorang pemuka Ahlusunnah mengatakan:

"Pada hakikatnya, kegembiraan Yazid atas terbunuhnya Husein dan penghinaannya atas Ahlul Bait (keluarga Rasul) merupakan suatu hal yang mutawatir (diterima oleh mayoritas), sedang kami tidak lagi meragukan atas kekafirannya (Yazid), semoga laknat Allah tertuju atasnya dan atas penolong dan pembelanya".

Masih layakkah Yazid bin Muawiyah dibela??, terkhusus dalam kejadian tragis di Karbala? Masihkah orang semacam Ibnu Taimiyah sudi membela manusia durjana seperti Yazid beserta antek-anteknya? Lantas bagaimana jika kita terapkan pendapat Taftazani tadi terhadap Ibnu Taimiyah, sang pembela Yazid? Sedang Mas’udi dalam kitab Muruj adz-Dzahab dengan jelas menuliskan "Suatu hari, setelah peristiwa terbunuhnya Husein, Yazid duduk di hidangan minuman khamr sedang di samping kanannya duduk Ibnu Ziyad".

Ternyata, pembelaan Ibnu Taimiyah terhadap Yazid bukan hanya berkisar tentang kesalahan besar Yazid dalam peristiwa Karbala. Namun, dalam peristiwa-peristiwa lain pun ia bersikeras untuk mensucikan Yazid sesuci-sucinya. Kita akan nukil beberapa peristiwa besar yang diperbuat oleh Yazid yang mana Ibnu Taimiyah tetap membela mati-matian Yazid bin Muawiyah, padahal banyak ulama Ahlusunnah sendiri dengan jelas menukil kejadian-kejadian itu.

Selain membunuh keluarga suci Rasulullah, Yazid juga merupakan otak pembantaian di kota suci Madinah al-Munawwarah. Kota tempat disemayamkannya tubuh suci Rasulullah saw beserta banyak keluarga dan sahabatnya. Ibnu Atsir dalam kitabnya mengatakan:

"Setelah peristiwa Karbala, para penghuni Madinah menarik baiatnya dari Yazid. Setelah Yazid mendengar kejadian tersebut, ia lantas mengirim manusia haus darah bernama Muslim bin Uqbah untuk memerintahkan penduduk Madinah supaya memberikan kembali baiatnya kepada Yazid, dengan diberi jangka waktu selama tiga hari. Jika tidak, maka seluruh penduduk Madinah akan dibunuh. Sebagaimana ia juga memberi ijin untuk mengambil semua harta benda mereka, dan menghukuminya halal bagi semua bala tentaranya. Setelah tiga hari Muslim bin Uqbah memasuki kota Madinah, terjadilah pembantaian besar-besaran dan prilaku durjana yang maha dahsyat selama sejarah umat manusia"

Adapun dalam kasus yang sama, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan "Pasukan Yazid berbuat semena-mena terhadap para wanita Madinah, sehingga selepas peristiwa tersebut, setiap wanita melahirkan anak tanpa suami". hal sadis ini juga dijelaskan oleh Ibnu Qutaibah. Lebih lanjut ia menjelaskan:

"Pada kejadian itu, banyak sahabat Rasulullah terbunuh. Delapan puluh sahabat mantan anggota perang Badar, sedang dari Quraisy dan Anshar yang berjumlah tujuh ratus orang, semuanya mati. Sementara yang terbunuh dari masyarakat umum berjumlah sepuluh ribu orang".

Bagaimana mungkin perbuatan Yazid tersebut dapat ditolelir oleh syariat Nabi Muhammad saw? Lalu, bagaimana mungkin orang seperti Ibnu Taimiyah yang menulis berjilid-jilid buku fatwa (berkenaan dengan syariat) mati-matian membela orang semacam Yazid? Bukankah Ibnu Taimiyah sendiri menukil sabda Rasul yang berbunyi "Barangsiapa yang menakut-nakuti penduduk Madinah, Allah akan menakut-nakutinya, dan semoga laknat Allah, malaikat serta segenap manusia akan tertuju kepadanya". Dan sebagaimana firman Allah swt: "Dan sesungguhnya orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata". Apakah menarik baiat dari orang yang dianggap fasik dan terlaknat karena membunuh cucu rasul saw dan menghinakan keluarganya yg mulia merupakan suatu kesalahan?

Ibnu Taimiyah tidak bisa lagi menutupi kemursalan Yazid. Yang bisa dilakukan oleh manusia semacam Ibnu Taimiyah adalah, berusaha memperingan kesalahan Yazid dengan mengurangi jumlah korban. Oleh karena itu, di dalam kitab yang sama, dalam rangka membela dan menutup-nutupi prilaku bejat Yazid, ia mengatakan "Yazid tidak membunuh semua pemuka Madinah, pembunuhan itu tidak sampai berjumlah sepuluh ribu jiwa, darah-darah itu tidak sampai ke makam Rasul dan pembunuhan itu tidak sampai terjadi di masjid Nabi". Pantaskah Ibnu Taimiyah mengaku penghidup ajaran Salaf as-Sholeh, sedang disisi lain ia adalah pembela nomor satu pembunuh para Salaf as-Sholeh?

Kedurjanaan Yazid bukan hanya ditujukan kepada keluarga suci Rasul, para sahabat dan Tabi’in, namun ia juga telah berbuat kurang ajar terhadap Baitullah al-A’dzam, Ka’bah al-Musyarrafah. Rumah suci yang memiliki sakralitas lebih dibanding tempat-tempat peribadatan lainnya, sebagaimana yang telah disepakati oleh segenap kaum muslimin. As-Suyuthi dalam kitab Tarikh al-Khulafa’, yang menukil dari ungkapan adz-Dzahabi, ia mengatakan:

"Setelah peristiwa besar yang menghebohkan terjadi di Madinah, Yazid mengirim pasukannya untuk berperang melawan Ibnu Zubair. Setelah mereka memasuki Makkah, akhirnya mereka mengepung Ibnu Zubair. Terjadilah peperangan melawan Ibnu Zubair, tetapi mereka melempari Ka’bah dengan manjanik (ketapel ukuran besar), dan karena jalaran api yang mereka sulut menyebabkan kisa’ (kelambu penutup Ka’bah) beserta langit-langit Ka’bah turut terbakar".

Dalam tragedi inipun, Ibnu Taimiyah tetap berusaha memberi taujih (pembenaran) atas prilaku Yazid. Ia mengatakan:

"Tidak seorang muslim pun yang mau bermaksud menghinakan Ka’bah, bukan wakil Yazid, juga bukan wakil Abdul Malik yang bernama Hajjaj bin Yusuf, ataupun selain mereka berdua, bahkan segenap kaum muslimin bermaksud untuk mengagungkan Ka’bah. Jadi, kalaulah Masjid al-Haram dikepung, hal itu karena pengepungan terhadap Ibnu Zubair. Pelemparan menggunakan manjanik-pun tertuju kepadanya. Yazid tidak ada maksud untuk membakar dan merusak Ka’bah, Ibnu Zubair yang telah melakukan semua itu".

Disini, lagi-lagi Ibnu Taimiyah mengkambinghitamkan orang lain dalam rangka mensucikan Yazid dari perbuatan kufurnya. Padahal, para ahli sejarah dengan jelas mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan Yazid yang didasari unsur kesengajaan.

Tiga kesalahan besar Yazid selama masa ia berkuasa; membunuh keluarga Rasul, memerintahkan pasukannya berbuat seperti binatang di Madinah dan perusakan Ka’bah. Semua itu dicatat oleh para ahli sejarah Islam dan telah terekam dalam benak banyak ulama muslim yang tidak mungkin dihapuskan dalam sejarah Islam.

Anggaplah, apa yang dibikin-bikin untuk menutupi kesalahan Yazid oleh Ibnu Taimiyah itu benar, tetapi pembunuhan tetaplah pembunuhan, apalagi yang dibunuh adalah cucu Nabi saw –dimana banyak riwayat tentang keutamaan Husein bin Ali r.a- di padang gersang Karbala. Juga, pembantaian beberapa sahabat dan manusia-manusia yang tak berdosa lainnya. Ditambah lagi dengan merampas harta benda, memperkosa wanita-wanita mukminah Madinah. Lantas apakah Islam mengajarkan atau membolehkan hal semacam itu? Bukankah Islam mengajarkan untuk tidak membolehkan dalam memperlakukan orang kafir semacam itu, apalagi para pengikrar syahadatain. Apakah orang kufur semacam Yazid dan bala tentaranya masih akan tetap memiliki rasa hormat atas Ka’bah, sehingga masih terus dibela oleh Ibnu Taimiyah dengan mengkambinghitamkan Ibnu Zubair? Jika semua dosa besar yang telah disebutkan tadi dengan berani mereka lakukan, maka dosa besar semacam perusakan Ka’bah al-Muadzamah pun sangatlah besar kemungkinannya untuk mereka lakukan. Apalagi, alasan Ibnu Taimiyah tersebut tidak berlandaskan argumentasi yang kuat, dan bertentangan dengan pendapat banyak ulama muslim ahli sejarah dan akal sehat.

Dalam kitab Minhaj as-Sunnah dengan sangat jelas Ibnu Taimiyah membela Yazid, ia mengatakan "Dari mana manusia mengetahui bahwa Yazid atau pelaku zalim lainnya belum bertaubat? Atau tidak memiliki kebaikan sedikitpun yang bisa menghapus dosa-dosanya?" Ini merupakan jurus terakhir Ibnu Taimiyah dalam rangka pembelaannya terhadap Yazid. Taruhlah, Yazid pernah bertaubat, akan tetapi harus diketahui bahwa konsep taubat dalam Islam, jika suatu kesalahan hanya berkaitan dengan dirinya maka cukup ia meminta taubat dari Allah. Namun, jika kesalahannya berhubungan dengan berbuat zalim terhadap orang lain, maka ia harus meminta keridhaan orang yang bersangkutan. Tanpa ridha pribadi yang disakiti, kesalahannya belum diampuni oleh Allah. Jadi, bagaimana taubat Yazid kepada orang-orang yang telah dibantainya, wanita-wanita mukminah yang telah ia hinakan, dan dosa-dosa sosial lainnya? Juga terbukti tidak satu penulis sejarahpun yang menerangkan perubahan pada perangai Yazid di akhir hayatnya.

Rasul saw sendiri jauh-jauh hari -berkat kabar dari Jibril- telah mengetahui tentang peristiwa yang bakal menimpa cucunya di Karbala. Belum lagi yang berkaitan dengan mimpi ummul mukminin Ummu Salamah ra. Juga mimpi sahabat besar Rasul, Ibnu Abbas ra. Jadi, kezaliman Yazid sampai akhir hayatnya sudah "diprediksikan" oleh Allah, sebagaimana prilaku Abu Lahab yang disitir oleh Allah dalam Surat al-Lahab yang ditujukan kepadanya. Padahal, bukankah sewaktu surat tersebut diturunkan, Abu Lahab masih hidup dan masih bisa berbuat taubat? Kalaupun Abu Lahab bertaubat, maka taubatnya tidak akan diterima sebagaimana ungkapan Fir’aun sewaktu akan tenggelam "Amantu bi rabbi Musa wa Harun" (aku beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun). Hal itu lebih dikarenakan, sebegitu besar kezaliman yang telah ia lakukan sehingga seakan pintu taubat telah ditutup bagi Allah. Begitu pula dengan Yazid, sebegitu dahsyat kezaliman yang telah ia lakukan maka pintu taubat telah ditutup oleh Allah, dan Allah menjatuhi vonis hatm (kepastian hukuman) atasnya, sebagaimana Abu Lahab.

Bagaimana kita menghukumi otak pekerjaan fasik beserta para pelaku dan "pembelanya" tersebut? Disini, kita dapat pertanyakan ke-ahlusunnah-an Ibnu Taimiyah, karena pembelaannya atas para Salaf at-Tholeh (lawan Salaf as-Sholeh) tadi, padahal mayoritas mutlak Ahlusunnah mencela mereka. Bukankah konsekuensi seorang pengikut Ahlusunnah harus mencela orang yang telah merubah-rubah Sunah Rasul? Bukankah Rasul pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abi Darda’: "Pertama orang yang merubah Sunah-ku adalah seseorang dari Bani Umayyah yang bernama Yazid" Yang pantas dipertanyakan kemudian, apakah layak bagi Ibnu Taimiyah, sang pembela manusia perubah Sunah Rasul, mengaku sebagai Ahlusunnah?

Kekejaman Yazid anak Muawiyah ini tidak mungkin akan bisa ditutup-tutupi dengan hadis-hadis bikinan berkenaan dengan keutamaan anak-bapak tersebut, karena sejarah telah mencatatnya. Ibnu Taimiyah tidak mungkin dapat menutup-nutupi fakta sejarah. Ia tidak mungkin dapat menyalahkan Husein bin Ali bin Abi Thalib r.a. Tetapi, ternyata ia terus berusaha untuk menutupi kesalahan Yazid maupun bapaknya, Muawiyah. Demikian halnya yang dilakukan oleh para pengikut Ibnu Taimiyah di masa sekarang dengan cara diantaranya mencari kambing hitam sebagaimana yang diungkap oleh Thaha Husein.

Logika ini sama persis seperti yang dilakukan Amr bin Ash pendamping setia Muawiyah terhadap Imam Ali bin Abi Thalib r.a tentang peristiwa kesyahidan Ammar bin Yasir ra, sahabat Rasul dan pengikut setia Ali r.a. Dikarenakan Rasulullah saw pernah bersabda –dalam hadis mutawatir- kepada Ammar; "sataqtuluka fiah baghiah" (engkau akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka). Pada waktu perang Shiffin, perang antara kubu Amirulmukminin Ali r.a dan Muawiyah di daerah yang terkenal dengan sebutan Shiffin, di situ Ammar terbunuh. Kala itu, Ammar di pihak Amirulmukminin Ali r.a. Dengan terbunuhnya Ammar di pihak Ali r.a, beberapa kaum pembela Muawiyah ingat sabda Rasul tadi, mereka pun bimbang. Untuk menghindari kebimbangan itu yang tentu akan mengurangi semangat bala tentaranya, Amr bin Ash penasehat setia Muawiyah mengatakan bahwa pembunuh Ammar adalah Ali. Dengan alasan, "jikalau Ali tidak memerangi Muawiyah niscaya Ammar tidak akan terbunuh". Karena ajakan Ali, Ammar terbunuh, berarti Ali lah pembunuh Ammar. Logika yang lucu tapi nyata. Hanya manusia bodoh yang menerima logika semacam itu. Karena jika kita dipaksa menerima logika tersebut berarti kita harus menerima juga ungkapan bahwa pembunuh para sahabat Rasul adalah Rasul sendiri, karena Rasullah yang mengajak mereka berperang.

Begitu juga dalam masalah pembunuhan Husein bin Ali r.a. Para pengikut Ibnu Taimiyah berusaha meyakinkan bahwa pembunuh Husein bin Ali adalah pengikut Syiah sendiri. Karena pada saat itu Syiah Ali banyak ditemui di Kufah dan merekalah yang memanggil Husein untuk datang ke Kufah dengan melayangkan ribuan surat kepada Husein r.a. Husein dikhianati oleh kaum Syiah, merekalah pembunuh Husein yang sebenarnya. Oleh karenanya, mereka meratapi kejadian Karbala karena penyesalan akan pengkhiatan kaumnya. Jadi kambing hitam atas tragedi Karbala adalah orang-orang Syiah.

Memang, saat itu kaum Syiah banyak ditemui di Kufah, namun tidak semua orang Kufah bermazhab Syiah. Tidak semua yang melayangkan surat ke Husein bin Ali adalah yang bermazhab Syiah. Mereka yang melayangkan surat juga termasuk orang yang mengakui kekhalifahan sayyidina Abu Bakar r.a dan sayyidina Umar r.a. Mereka turut melayangkan surat dikarenakan kecintaan mereka kepada keluarga Rasul saw dan kebencian mereka akan kezaliman. Bukankah yang mengajarkan kecintaan kepada keluarga Rasul bukan hanya khusus mazhab Syiah saja? Bukankah yang mengajarkan kebencian terhadap berbagai kezaliman bukan hanya dikhususkan mazhab Syiah saja? Atas dasar itulah, lantas ribuan surat melayang ke pangkuan Husein bin Ali as.

Mereka-mereka pencari kambing hitam peristiwa Karbala tidak tahu (jahil) –atau sengaja tidak mau tahu (keras kepala)- bahwa sebelum peristiwa Karbala, ribuan penduduk Kufah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan bekerjasama dengan Nukman bin Basyir gubernur Kufah, bawahan Yazid. Pembunuhan itu atas perintah langsung dari Syam, pusat pemerintahan rezim Yazid. Perintah itu keluar setelah Yazid mendengar melalui mata-matanya bahwa penduduk Kufah banyak melayangkan surat kepada Husein. Selain pembunuhan juga dilakukan penangkapan besar-besaran penduduk Kufah, pendukung imam Husein. Dan intimidasi untuk menarik kembali baiat yang mereka layangkan kepada Husein di bawah ancaman mati di ujung pedang. Lantas, masihkah pengikut Ibnu Taimiyah terus akan mencari-cari kambing hitam itu? Ataukah mereka terus berusaha untuk selalu mencari jalan lain dalam rangka membela kaum durjana?

Pendapat Para Ulama terhadap Kezaliman Yazid

Al-Alusi mengatakan:

"Barangsiapa yang beranggapan bahwa prilaku Yazid tidak masuk kategori maksiat, sehingga dilarang untuk melaknatnya, maka sungguh ia tergolong penolong Yazid".
Taftazani berpendapat:

"Kegembiraan Yazid atas terbunuhnya Husain merupakan satu bentuk penghinaan atas Ahlul Bait (keluarga Nabi), dan hal itu merupakan sesuatu yang mutawatirat maknawi (yang diterima oleh mayoritas walau tidak transparan"

Jahidh mengungkapkan:

“Berbagai kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Yazid, seperti; membunuh Husein, menawan keluarga Husein, memukuli kepala dan gigi Husein dengan kayu, menimbulkan rasa ketakutan penghuni Madinah, merusak Ka’bah, semua itu, sebagai bukti bahwa Yazid memiliki jiwa keras kepala, angkara murka, kemunafikan dan telah keluar dari keimanan, maka ia masuk kategori fasik dan terlaknat. Barangsiapa yang menghindari dari pelaknatan seseorang yang layak untuk dilaknat, maka iapun termasuk orang yang terlaknat".

Seorang penulis besar Mesir Thaha Husein mengatakan:

"Sebagian beranggapan, Yazid bersih dari keterlibatan pembunuhan atas Husein dengan cara yang sangat memprihatinkan, sementara kesalahan sepenuhnya ditujukan kepada Ubaidillah. Jika memang hal itu benar, kenapa (Yazid) tidak mencela Ubaidillah? Kenapa ia tidak menghukum Ubaidillah? Kenapa ia tidak mencabut kedudukan Ubaidillah?

Dari ungkapan ulama Ahlusunnah di atas, dengan jelas bahwa mereka sendiri meyakini akan kezaliman dan kelaliman Yazid anak Muawiyah. Dan mereka pun beranggapan bahwa pembela orang zalim berarti ia dihukumi sama dengan yang dibela.

sabda Nabi saw :

"Husein dari-ku dan aku dari Husein, sungguh telah mencintai Allah orang yang telah mencintai Husein. Husein adalah salah seorang cucu (mulia)"

"Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya" (QS. 33:57).

Jika Allah SWT telah mengutuk Ibnu Taimiyah dan menyiksanya dgn siksaan yg hina , para pembebek Ibnu Taimiyah justru berusaha memuliakannya dan menyelamatkannya dari siksaan Allah SWT, mimpi yg tak mungkin terjadi dalam alam mimpi sekalipun!

Read More...

ASAL-USUL MAZHAB WAHHABI


Mazhab Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.


Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama `Abd al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin `Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan al-Muhammadiyyah yang mungkin boleh dikaitkan dengan nama Muhammad bin `Abd al-Wahhab bertujuan untuk mengelakkan persamaan di antara para pengikut Nabi Muhammad (s.`a.w) dengan mereka, dan juga bertujuan untuk menghalang sebarang bentuk eksploitasi (istighlal).2 Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun3 (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah.

Mazhab Wahhabi pada zaman moden ini tidak lain dan tidak bukan, adalah golongan al-Hasyawiyyah kerana kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka seratus peratus sama dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal.

Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw iaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan. Nama ini diberikan kepada orang-orang yang menerima dan mempercayai semua hadith yang dibawa masuk ke dalam Islam oleh orang-orang munafiq. Mereka mempercayai semua hadith yang dikaitkan kepada Nabi (s.`a.w) dan para sahabat baginda berdasarkan pengertian bahasa semata-mata tanpa sebarang penilaian semula. Bahkan sekiranya sesuatu “ hadith “ itu dipalsukan (tetapi orang yang memalsukannya memasukkan suatu rangkaian perawi yang baik kepadanya), mereka tetap menerimanya tanpa mempedulikan sama ada teks hadith itu selari dan selaras dengan al-Qur’an ataupun hadith yang diakui sahih atau sebaliknya. Kebanyakan ulama hadith (muhaddithun) Sunni termasuk ke dalam golongan al-Hasyawiyyah.

Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahawa: “ Nama al-Hasyawiyyah digunakan kepada orang-orang yang meriwayatkan hadith-hadith sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagai sabda Nabi dan mereka menerimanya tanpa sebarang interpretasi semula, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah... Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubung dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahawa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahawa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahawa Allah mempunyai anggota tubuh ... “4

Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahawa: “ Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadith, iaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas mengisytiharkan kepercayaan mereka tentang tasybih (iaitu Allah seumpama makhluk-Nya) ... sehinggakan mereka sanggup mengatakan bahawa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) kerana banjir Nabi Nuh (`a.s) sehingga mata-Nya menjadi merah, dan `Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahawa Dia melampaui `Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut.”5

Definisi dan gambaran ini secara langsung menepati golongan Wahhabi yang menamakan diri mereka sebagai Ashab al-Hadith atau Ahl al-Hadith dan kerapkali juga sebagai Sunni, dan pada masa kini mereka memperkenalkan diri mereka sebagai Ansar al-Sunnah ataupun Ittiba` al-Sunnah.


Latar belakang Pengasas Mazhab Wahhabi

Muhammad bin `Abd al-Wahhab dilahirkan di perkampungan `Uyainah, salah sebuah kampung dalam Najd di bahagian selatan pada tahun 1115H/1703M. Bapanya, `Abd al-Wahhab merupakan seorang Qadi di sini. Muhammad dikatakan pernah mempelajari bidang fiqh al-Hanbali dengan bapanya, yang juga adalah salah seorang tokoh ulama al-Hanabilah. Semenjak kecil, dia mempunyai hubungan yang rapat dengan pengkajian dan pembelajaran kitab-kitab tafsir, hadith dan akidah.

Pada zaman remajanya, Muhammad selalu memperendah-rendahkan syiar agama yang biasanya dipegang oleh penduduk Najd, bukan sahaja di Najd bahkan sehingga sejauh Madinah selepas dia kembali daripada menunaikan haji. Dia sering mengada-adakan perubahan dalam pendapat dan pemikiran di dalam majlis-majlis agama, dan dia dikatakan tidak suka kepada orang yang bertawassul kepada Nabi (s.`a.w) di tempat kelahiran (marqad) baginda yang suci itu.

Kehidupannya selama beberapa tahun dihabiskan dengan mengembara dan berdagang di kota-kota Basrah, Baghdad, Iran, India dan Damsyik. Di Damsyik, dia dikatakan telah menemui kitab-kitab karangan Ibn Taimiyyah al-Harrani (m.728H/1328M) yang mengandungi ajaran-ajaran yang berunsur kontroversi berbanding dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.

Dia kembali ke Najd dan kemudian berpindah ke Basrah. Dalam perjalanannya ke Syam, di Basrah dia berjaya memenuhi matlamatnya menegah orang ramai daripada melakukan syiar agama mereka dan menghalang mereka daripada perbuatan tersebut. Justeru itu penduduk Basrah bangkit menentangnya, dan menyingkirkannya daripada perkampungan mereka. Akhirnya dia melarikan diri ke kota al-Zabir.

Dalam perjalanan di antara Basrah dan al-Zabir, akibat terlalu penat berjalan kerana kepanasan sehingga hampir-hampir menemui ajalnya, seorang lelaki (dari kota al-Zabir) telah menemuinya lalu membantunya ketika melihatnya berpakaian seperti seorang alim. Dia diberikan minuman dan dibawa balik ke kota tersebut. Muhammad bin `Abd al-Wahhab berazam untuk ke Syam tetapi dia tidak mempunyai harta dan bekalan yang mencukupi, lalu bermusafir ke al-Ahsa’ dan dari situ, terus ke Huraymilah (dalam kawasan Najd) juga.

Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari `Uyainah ke Huraymilah dan dia ikutserta dengan bapanya dan belajar dengannya tetapi masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd, yang menyebabkan berlakunya pertentangan dan perselisihan yang berkecamuk di antaranya dan bapanya di satu pihak dan, di antaranya dengan penduduk-penduduk Najd di pihak yang lain. Keadaan tersebut terus berkekalan sehingga ke tahun 1153H/1740M apabila bapanya meninggal dunia.6 Sejak dari itu, Muhammad tidak lagi terikat. Dia telah mengemukakan akidah-akidahnya yang sesat, menolak dan mengenepikan amalan-amalan agama yang dilakukan serta menyeru mereka menyertai kumpulannya. Sebahagian tertipu manakala sebahagian lagi meninggalkannya hingga dia mengisytiharkan kekuasaannya di Madinah.

Muhammad kembali ke `Uyainah yang diperintah oleh `Uthman bin Hamad yang menerima dan memuliakannya dan berlakulah ketetapan di antara mereka berdua bahawa setiap seorang hendaklah mempertahankan yang lain dengan seorang memegang kekuasaan dalam perundangan Islam (al-tasyri`) dan seorang lagi dalam pemerintahan. Pemerintah `Uyainah mendokong Muhammad dengan kekuatan dan Muhammad bin `Abd al-Wahhab pula menyeru manusia mentaati pemerintah dan para pengikutnya.

Berita telah sampai kepada pemerintah al-Ahsa’ bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab mendakyahkan pendapat dan bid`ahnya, manakala pemerintah `Uyainah pula menyokongnya. Beliau telah memerintahkan supaya suatu risalah peringatan dan ancaman dihantar kepada pemerintah `Uyainah. Pemerintah `Uyainah telah memanggil Muhammad dan memberitahunya bahawa dia enggan membantunya. Ibn `Abd al-Wahhab berkata kepadanya: “ Sekiranya engkau membantuku dalam dakwah ini, engkau akan menguasai seluruh Najd.” Pemerintah tersebut menyingkirkannya dan memerintahkannya meninggalkan `Uyainah dengan cara mengusirnya pada tahun 1160H/1747M.

Pada tahun itu, Muhammad keluar dari `Uyainah ke Dar`iyyah di Najd yang diperintah oleh Muhammad bin Sa`ud (m.1179H/1765M) yang kemudian menziarahi, memuliakan dan menjanjikan kebaikan kepadanya. Sebagai balasannya, Ibn `Abd al-Wahhab memberikan khabar gembira kepadanya dengan jaminan penguasaan Najd keseluruhannya. Dengan cara itu, suatu ketetapan dimeterai.7 Penduduk Dar`iyyah mendokongnya sehingga akhirnya Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dan Muhammad bin Sa`ud memeterai perjanjian atau memorandum persefahaman (`aqd al-Ittifaqiyyah).

Ibn Basyr al-Najdi yang dipetik oleh al-Alusi mengatakan: “ Penduduk Dar`iyyah pada masa itu dalam keadaan sangat menderita dan kepayahan, mereka lalu berusaha untuk memenuhi kehidupan mereka ... Aku lihat kesempitan hidup mereka pada kali pertama tetapi kemudian aku lihat al-Dar`iyyah selepas itu - pada zaman Sa`ud, penduduknya memiliki harta yang banyak dan senjata disaluti emas, perak, kuda yang baik, para bangsawan, pakaian mewah dan lain-lain lagi daripada sumber-sumber kekayaan sehinggakan lidah kelu untuk berkata-kata dan gambaran secara terperinci tidak mampu dihuraikan.”

“ Aku lihat tempat orang ramai pada hari itu, di tempat dikenali al-Batin - aku lihat kumpulan lelaki di satu pihak dan wanita di satu pihak lagi, aku lihat emas, perak, senjata, unta, kuda, pakaian mewah dan semua makanan tidak mungkin dapat digambarkan dan tempat itu pula sejauh mata memandang, aku dengar hiruk-pikuk suara-suara penjual dan pembeli ... “8

Harta yang banyak itu tidak diketahui datang dari mana, dan Ibn Basyr al-Najdi sendiri tidak mendedahkan sumber harta kekayaan yang banyak itu tetapi berdasarkan fakta-fakta sejarah, Ibn `Abd al-Wahhab memperolehinya daripada serangan dan serbuan yang dilakukannya bersama-sama para pengikutnya terhadap kabilah-kabilah dan kota-kota yang kemudian meninggalkannya untuknya. Ibn `Abd al-Wahhab merampas harta kekayaan itu dan membahagi-bahagikannya kepada penduduk Dar`iyyah.

Ibn `Abd al-Wahhab mengikuti kaedah khusus dalam pembahagian harta rampasan daripada umat Islam yang meninggalkannya. Ada ketikanya, dia membahagikannya di antara 2 atau 3 orang pengikutnya. Amir Najd menerima habuannya daripada ghanimah itu dengan persetujuan Muhammad bin `Abd al-Wahhab sendiri. Ibn `Abd al-Wahhab melakukan mu`amalah yang buruk dengan umat Islam yang tidak tunduk kepada hawa nafsu dan pendapatnya seumpama mu`amalah kafir harbi dan dia menghalalkan harta mereka.

Ringkasnya, Muhammad ibn `Abd al-Wahhab kelihatan menyeru kepada agama Tawhid tetapi tawhid sesat ciptaannya sendiri, dan bukannya tawhid menurut seruan al-Qur’an dan al-Hadith. Sesiapa yang tunduk (kepada tawhidnya) akan terpelihara diri dan hartanya dan sesiapa yang enggan pula dianggap kafir harbi (yang perlu diperangi) sama ada darah dan hartanya.

Di atas alasan inilah, golongan Wahhabi menguasai medan peperangan di Najd dan kawasan-kawasan di luarnya seperti Yaman, Hijaz, sekitar Syria dan `Iraq. Mereka mengaut keuntungan yang berlimpah daripada kota-kota yang mereka kuasai mengikut kemahuan dan kehendak mereka, dan jika mereka boleh menghimpunkan kawasan-kawasan itu ke dalam kekuasaan dan kehendak mereka, mereka akan lakukan semua itu, tetapi jika sebaliknya mereka hanya memadai dengan merampas harta kekayaan sahaja.9

Muhammad memerintahkan orang-orang yang cenderung mengikuti dakwahnya supaya memberikan bai`ah dan orang-orang yang enggan wajib dibunuh dan dibahagi-bahagikan hartanya. Oleh kerana itu, dalam proses membuang dan mengasingkan penduduk kampung di sekitar al-Ahsa’ untuk mendapatkan bai`ah itu, mereka telah menyerang dan membunuh 300 orang dan merampas harta -harta mereka.10

Akhirnya Muhammad meninggal dunia pada tahun 1206H/1791M tetapi para pengikutnya telah meneruskan mazhabnya dan menghidupkan bid`ah dan kesesatannya kembali. Pada tahun 1216H/1801M, al-Amir Sa`ud al-Wahhabi mempersiapkan tentera yang besar terdiri daripada 20 000 orang dan melakukan serangan ganas ke atas kota suci Karbala’ di `Iraq. Karbala merupakan sebuah kota suci dihiasi dengan kemasyhuran dan ketenangan di hati umat Islam. Pelbagai bangsa berhasrat untuk ke sana sama ada mereka berbangsa Iran, Turki, Arab dan sebagainya. Tentera Wahhabi mengepung dan memasuki kota itu dengan melakukan pembunuhan, rampasan, runtuhan dan kebinasaan. Puak Wahhabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala’ dengan jenayah yang tidak mengenal batas perikemanusiaan dan tidak mungkin dapat dibayangkan. Mereka telah membunuh 5000 orang Islam atau bahkan lebih lagi, sehingga disebutkan seramai 20 000 orang.

Apabila al-Amir Sa`ud menyudahi perbuatan keji dan kejamnya di sana, dia merampas khazanah harem al-Imam al-Husayn bin `Ali (`a.s) yang banyak dengan harta, perhiasan dan hadiah yang dikurniakan oleh raja, pemerintah dan lain-lain kepada maqam suci ini. Selepas melakukan keganasan yang cukup menjijikkan ini, dia kemudian menakluki Karbala’ untuk dirinya sehingga para penyair menyusun qasidah-qasidah penuh dengan rintihan, keluhan dan dukacita mereka.11

Puak Wahhabi mengambil masa selama 12 tahun membuat serangan ke atas kota Karbala’ dan kawasan sekitarnya, termasuk Najaf. Mereka kembali sebagai perampas, penyamun dan pencuri dengan memulainya pada tahun 1216H/1801M. Para penulis Syi`ah bersepakat bahawa serangan dan serbuan itu berlaku pada hari `Aid al-Ghadir bagi memperingati ketetapan Nabi (s.`a.w) mengenai perlantikan al-Imam `Ali bin Abi Talib sebagai khalifah selepas baginda.12

Al-`Allamah al-Marhum al-Sayyid Muhammad Jawwad al-`Amili mengatakan:13

“ Allah telah menentukan dan menetapkan dengan kebesaran dan keihsanan-Nya dan juga dengan berkat Muhammad dan Al baginda (s.`a.w), untuk melengkapkan juzuk ini daripada kitab Miftah al-Karamah, selepas pertengahan malam yang ke-9, bulan Ramadan al-mubarak tahun 1225H/1810M - menurut catatan penyusunnya ...” dengan kekacauan fikiran dan kecelaruan keadaan, orang-orang `Arab dikelilingi oleh orang-orang dari `Unaizah yang mengucapkan kata-kata puak al-Wahhabi al-Khariji di al-Najaf al-Asyraf dan masyhad al-Imam al-Husayn (`a.s) - mereka telah memintas jalan dan merampas hak milik para penziarah al-Husayn (`a.s) sebaik sahaja mereka kembali daripada ziarah itu pada pertengahan bulan Sya`ban. Mereka membunuh sebahagian besar daripadanya, terdiri daripada orang-orang `Ajam, dianggarkan 150 orang ataupun kurang ...”

Jelaslah, bahawa tawhid yang diserukan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan jemaahnya adalah dengan mengharuskan darah dan harta orang yang mengingkari dakwah mereka, juga menerima kata-kata atau akidah-akidah mereka bahawa Allah berjisim, mempunyai anggota tubuh badan dan sebagainya.

Al-Alusi dalam penjelasannya tentang Wahhabi mengatakan: “ Mereka menerima hadith-hadith yang datang daripada Rasulullah (s.`a.w) bahawa Allah turun ke langit dunia dan berkata: Adakah orang-orang yang ingin memohon keampunan?”14 Sehinggalah dia mengatakan: “ Mereka mengakui bahawa Allah ta`ala datang pada hari Qiyamat sebagaimana kata-Nya: “ dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya “ (al-Fajr (89): 23) dan sesungguhnya Allah menghampiri makhluk-Nya menurut kehendak-Nya seperti yang disebutkan: “ dan Kami lebih hampir kepadanya daripada urat lehernya “ (Qaf (50): 16).

Dapat dilihat dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibn Taimiyyah bahawa dia menganggap hadith-hadith yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulullah (s.`a.w) sebagai hadith mawdu` (palsu). Dia juga turut menjelaskan “ orang yang berpegang kepada akidah bahawa Nabi masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup,” dia telah melakukan dosa yang besar. Inilah juga yang diiktiqadkan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan pemalsuan dan kebatilan Ibn Taimiyyah tersebut.

Para pengikut akidah Wahhabi yang batil memberikan tanggapan kepada para pengkaji yang melakukan penyelidikan mengenai Islam - menerusi pemerhatian dan penelitian kepada kitab-kitab mereka dan mengenali Islam menerusi bahan-bahan cetakan mereka sendiri - hingga menyebabkan mereka akhirnya beranggapan bahawa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat dimanfaatkan pada setiap masa dan zaman.

Lothrop Stodard berbangsa Amerika mengatakan: “ Kesan dari itu, kritikan-kritikan telah timbul kerana puak Wahhabi berpegang kepada dalil tersebut dalam kalam mereka hingga dikatakan bahawa Islam dari segi jawhar dan tabiatnya tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan menurut kehendak dan tuntutan zaman, tidak dapat berjalan seiringan dengan keadaan kemajuan dan proses perubahan serta tidak lagi mempunyai kesatuan dalam perkembangan kemajuan zaman dan perubahan masa ...”15



Penentangan Terhadap Mazhab Wahhabi

Para ulama al-Hanbali memberontak terhadap Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan mengeluarkan hukum bahawa akidahnya adalah sesat, menyeleweng dan batil sejak dari mula lagi. Tokoh pertama yang mengisytiharkan penentangan terhadapnya adalah bapanya sendiri, al-Syaikh `Abd al-Wahhab, diikuti oleh saudaranya, al-Syaikh Sulayman. Kedua-duanya adalah daripada mazhab al-Hanabilah. Al-Syaikh Sulayman menulis kitab yang bertajuk al-Sawa`iq al-Ilahiyyah fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah untuk menentang dan menghentamnya. Di samping itu tentangan juga dihadapkan kepadanya oleh sepupunya, `Abdullah bin Husayn.

Mufti Makkah, Zaini Dahlan mengatakan: “ `Abd al-Wahhab, bapa kepada al-Syaikh Muhammad adalah seorang yang salih dan merupakan seorang tokoh ahli ilmu, begitulah juga dengan al-Syaikh Sulayman. Al-Syaikh `Abd al-Wahhab dan al-Syaikh Sulayman, kedua-duanya dari awal lagi iaitu pada ketika Muhammad mengikuti pengajarannya di Madinah al-Munawwarah telah mengetahui pendapat dan pemikiran Muhammad yang meragukan. Kedua-duanya telah mengkritik dan mencela pendapatnya dan mereka berdua turut memperingatkan orang ramai mengenai bahayanya pemikiran Muhammad...”16

Dalam keterangan Zaini Dahlan yang lain dikatakan bahawa “ bapanya `Abd al-Wahhab, saudaranya Sulayman dan guru-gurunya telah dapat mengesani tanda-tanda penyelewengan agama (ilhad) dalam dirinya yang didasarkan kepada perkataan, perbuatan dan tentangan Muhammad terhadap banyak persoalan agama.”17

`Abbas Mahmud al-`Aqqad al-Misri mengatakan: “ Orang yang paling kuat menentang al-Syaikh dalam persoalan ini adalah saudaranya, al-Syaikh Sulayman, penulis kitab al-Sawa`iq al-Ilahiyyah. Beliau tidak mengiktiraf saudaranya itu mencapai kedudukan berijtihad dan berkemampuan memahami al-Kitab dan al-Sunnah. Al-Syaikh Sulayman berpendapat bahawa para Imam yang lalu, generasi demi generasi tidak pernah mengkafirkan ashab bid`ah, dalam hal ini tidak pernah timbul persoalan kufur sehingga timbulnya ketetapan mewajibkan mereka memisahkan diri daripadanya dan sehingga diharuskan pula memeranginya kerana alasan tersebut.”

Al-Syaikh Sulayman berkata lagi bahawa: “ Sesungguhnya perkara-perkara itu berlaku sebelum zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal iaitu pada zaman para Imam Islam, dia mengingkarinya manakala ada di antara mereka pula mengingkarinya, keadaan itu berterusan sehingga dunia Islam meluas. Semua perbuatan itu dilakukan orang-orang yang kamu kafirkan mereka kerananya, dan tiada seorang pun daripada para Imam Islam yang menceritakan bahawa mereka mengkafirkan (seseorang) dengan sebab-sebab tersebut. Mereka tidak pernah mengatakan seseorang itu murtad, dan mereka juga tidak pernah menyuruh berjihad menentangnya. Mereka tidak menamakan negara-negara orang Islam sebagai negara syirik dan perang sebagaimana yang kamu katakan, bahkan kamu sanggup mengkafirkan orang yang tidak kafir kerana alasan-alasan ini meskipun kamu sendiri tidak melakukannya...”18

Jelaslah bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab bukan sahaja sengaja mengada-adakan bid`ah dalam pendapat dan pemikirannya, bahkan beberapa abad terdahulu daripadanya, pendapat dan pemikiran seperti itu telah pun didahului oleh Ibn Taimiyyah al-Harrani dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jawzi dan tokoh-tokoh seperti mereka berdua.



Ibn Taimiyyah

Dia ialah Abu al-`Abbas bin `Abd al-Halim atau lebih dikenali Ibn Taimiyyah (m.728H/1328M) termasuk dalam kalangan ulama al-Hanabilah. Pendapat dan pemikirannya bercanggah dan berlawanan dengan akidah ulama dan umat Islam pada zamannya sehingga tokoh-tokoh ulama telah mengeluarkan perisytiharan perang dan menghukumkannya fasiq dan sesat, terutama selepas akidahnya yang penuh kebatilan dituliskan dan disebarkan kepada orang ramai.


Penentangan terhadap Ibn Taimiyyah dilakukan menerusi dua cara:

(1) Penulisan kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang menjawab dan menyangkal pendapat dan pemikirannya yang batil berdasarkan pandangan al-Qur’an dan al-Hadith. Contohnya:

a) Taqi al-Din al-Subki dengan kitabnya, Syifa’ al-Siqam fi Ziyarah Qabr al-Imam.

b) Al-Subki dengan kitabnya, al-Durrah al-Mudi’ah fi al-Radd `ala Ibn Taimiyyah.

c) Taqi al-Din Abi `Abd-Allah al-Akhna’i, Qadi al-Qudat al-Malikiyyah.

d) Fakhr bin Muhammad al-Qarsyi, Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mutadi.

e) Taqi al-Din al-Hasani, Daf` al-Syubhah.

f) Taj al-Din, al-Tuhfah al-Mukhtarah fi al-Radd `ala Munkir al-Ziyarah.




Semua tokoh yang disebutkan di atas menolak pendapat dan pemikiran Ibn Taimiyyah dan memperlihatkan kedangkalan serta kecetekan pendapatnya.

(2) Celaan dan kritikan para ulama dan fuqaha’ terhadapnya dengan mengeluarkan hukum dan fatwa tentang kefasikan dan kekufurannya, dan mereka turut memberikan peringatan tentang bid`ah dalam agama yang boleh merosakkan, yang dihasilkan daripada pemikirannya.

Tokoh ulama tersebut ialah al-Badr bin Jama`ah, Qadi al-Qudat di Mesir. Umat Islam telah menulis kepadanya tentang pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ziarah kubur Nabi (s.`a.w). Qadi al-Qudat tersebut menjawab:

“ Ziarah Nabi adalah sunat yang dituntut. Ulama bersepakat dalam hal ini dan sesiapa yang berpendapat bahawa ziarah itu adalah haram, maka para ulama wajib mengutuknya dan menegahnya daripada mengeluarkan pendapat tersebut. Sekiranya dia enggan, maka hendaklah dipenjarakan dan diperendah-rendahkan kedudukannya sehingga umat manusia tidak mengikutinya lagi.”


Bukan Qadi al-Syafi`iyyah di Mesir sahaja yang mengeluarkan fatwa ini, bahkan Qadi al-Malikiyyah dan al-Hanbaliyyah turut sama mendakwa kefasiqkan Ibn Taimiyyah dan menghukumkannya sebagai sesat dan menyeleweng.19

Al-Dhahabi, salah seorang ulama abad ke-8H/14M, tokoh sezaman dengan Ibn Taimiyyah telah menulis sebuah risalah kepadanya, dengan menegahnya daripada mengeluarkan pendapat tersebut ... dan beliau menyamakannya dengan al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi dari segi kesesatan dan kejahatan.20

Ibn Taimiyyah meninggal dunia pada tahun 728H/1328M di dalam penjara al-Syam. Ibn al-Qayyim cuba menyambung dan meneruskan usaha gurunya, tetapi tidak berjaya. Dengan kematian Ibn Taimiyyah, segala pendapat dan pemikirannya juga turut mengalami kematian, dan umat Islam terlepas daripada bid`ah dan kesesatannya.

Kemudian Muhammad bin `Abd al-Wahhab datang dengan membawa pemikiran Ibn Taimiyyah dan bersekongkol pula dengan keluarga Sa`ud yang saling menyokong di antara seorang dengan yang lain dari segi pemerintahan dan keislaman. Di Najd, kesesatan telah tersebar dan fahaman al-Wahhabiyyah merebak ke seluruh pelusuk tempat seumpama kanser (al-saratan) dalam tubuh badan manusia. Dia menipu kebanyakan umat manusia dan menubuhkan sebuah pertubuhan ataupun dengan kata-kata lain, mazhab atas nama Tawhid dengan menjatuhkan hukuman ke atas Ahl al-Tawhid, menumpahkan darah umat Islam atas alasan jihad menentang golongan musyrikin hingga menyebabkan beribu-ribu orang manusia, lelaki dan wanita, kecil dan besar menjadi mangsa bid`ah mereka yang sesat. Ia turut sama menyebabkan perselisihan (khilaf) yang sempit semakin membesar dan menjadi-jadi di kalangan umat Islam dan dengan cara itu, mazhab yang baru ini dihubungkan dengan mazhab-mazhab yang banyak itu. Musibah itu akhirnya sampai ke kemuncaknya dengan jatuhnya dua buah kota suci, Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.

Penduduk Najd bermazhab Wahhabi memperolehi bantuan dan pertolongan Britain yang ingin melihat perpecahan negara Islam kepada negara-negara yang lebih kecil dari segi kedudukan geografi. Mereka dengan secara sengaja berusaha menghapuskan segala kesan dan tinggalan Islam di kota-kota Makkah dan Madinah dengan memusnahkan kubur para wali (awliya’) Allah, mencemarkan kehormatan kerabat Rasulullah (Al Rasulillah) dan lain-lain dengan perbuatan-perbuatan jenayah dan dosa untuk mengoncangkan hati dan perasaan umat Islam.

Sesetengah ahli sejarah menyebutkan: “ Kemunculan secara tiba-tiba mazhab Wahhabi dan sewaktu mereka memegang kekuasaan di Makkah, operasi pemusnahan secara besar-besaran telah dilakukan oleh mereka dengan memusnahkan pertamanya, apa sahaja yang ada di al-Mu`alla, sebuah kawasan perkuburan Quraisy yang terdiri daripada kubah-kubah (qubbah) yang begitu banyak, termasuklah kubah-kubah Sayyidina `Abd al-Muttalib, datuk Nabi (s.`a.w), Sayyidina Abi Talib, al-Sayyidah Khadijah sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada kubah-kubah tempat kelahiran Nabi (s.`a.w), Abu Bakr dan al-Imam `Ali. Mereka juga turut memusnahkan kubah zamzam dan kubah-kubah lain di sekitar Ka`bah, seterusnya diikuti oleh kawasan-kawasan lain yang mempunyai kesan dan tinggalan orang-orang salih. Semasa mereka melakukan pemusnahan itu, mereka membuang kekotoran sambil memukul gendang (al-tubul) dan menyanyi dengan mengeluarkan kata-kata mencaci dan menghina kubur-kubur ... sehingga dikatakan sebahagian daripada mereka sanggup kencing di atas kubur-kubur para salihin tersebut.”21


Al-`Allamah al-Sayyid Sadr al-Din al-Sadr mengatakan:

“ Demi usia hidupku, sesungguhnya al-Baqi` telah menerima nasib yang sangat malang, kerana hati-hati yang kecewa, mengikut nafsu dan berperangai kebudak-budakan, maka berlakulah pencetus kepada segala kecelakaan, apabila tiada lagi kedamaian. Bagi umat Islam kepada Allah diadukan, hak Nabi-Nya yang telah memberikan petunjuk dan syafaat.”

Katanya lagi:

“ Celakalah anak cucu Yahudi dengan perbuatan jenayah yang mereka lakukan, mereka tidak mendapat apa-apa daripadanya dengan membongkarkan harim Muhammad dan kaum kerabat baginda. Neraka wail untuk mereka dengan apa yang mereka tentang terhadap orang-orang yang kuat (al-Jabbar). Mereka musnahkan kubur orang-orang salih dengan perasaan benci mereka. Hindarkanlah daripada mereka kerana sesungguhnya mereka membenci orang-orang yang terpilih (di sisi Allah).”

Nabi Muhammad (s.`a.w) pernah bersabda bahawa: “ Apabila sesuatu bid`ah itu muncul di kalangan umatku, maka orang-orang alim hendaklah memperlihatkan dan menyampaikan ilmu mereka kerana kalau mereka tidak melakukannya, laknat Allah akan ditimpakan ke atas mereka.”22

Rasulullah (s.`a.w) juga bersabda: “ Apabila bid`ah timbul dan orang-orang yang terkemudian daripada umat ini melaknat orang-orang yang terdahulu, maka barang siapa yang memiliki keilmuan, maka hendaklah menyampaikannya. Sesungguhnya orang yang menyembunyikan keilmuannya pada hari itu seumpama orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad.”23

Para Siddiqin (`r.a) daripada kaum kerabat Rasulullah (s.`a.w) mengatakan bahawa: “ Apabila bid`ah lahir, maka orang alim hendaklah menzahirkan keilmuannya, sekiranya dia tidak berbuat demikian, cahaya keimanan (Nur al-Iman) akan hilang.”24

Atas dasar inilah, para ulama Syi`ah dan Sunni telah bersama-sama bangkit menentang serangan mazhab Wahhabi. Mereka telah menulis, menerbitkan kitab-kitab dan menjelaskan keburukan dan kejahatan tokoh-tokoh Wahabi yang berusaha untuk merealitikan cita-cita dan harapan Britain menerusi bentuk baru.

Kitab pertama yang ditulis untuk menolak dan menentang fahaman Muhammad ibn `Abd al-Wahhab ialah al-Sawa`iq al-Ilahiyyah fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah yang ditulis oleh al-Syaikh Sulayman, iaitu saudara kepada Muhammad sendiri.

Di kalangan golongan Syi`ah pula, kitab pertama ditulis untuk tujuan tersebut ialah Manhaj al-Rasyad oleh al-Syaikh Ja`far Kasyif al-Ghita’ (m.1228H/1813M). Kitabnya ditulis untuk menjawab risalah yang dihantarkan kepadanya oleh al-Amir `Abd al-`Aziz bin Sa`ud, salah seorang pemerintah Sa`udi pada zamannya. Beliau telah membongkarkan kecetekan dan kedangkalan pemikiran Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dalam kitabnya dan mensabitkan kebatilan pemikiran Muhammad menerusi pandangan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kitabnya itu telah dicetak pada tahun 1343H/1924M di al-Najaf al-Asyraf di `Iraq. Selepas itu, kitab-kitab lain mulai menyusul satu demi satu dengan menolak dan mengkritik pemikiran Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dari perspektif yang lain sehingga ke hari ini.

Pada zaman itu, golongan Wahhabi telah meningkatkan serangan mereka yang merosakkan dan berbahaya terhadap Islam dan umatnya menerusi penentangan dan peperangan yang didalangi oleh keluarga Sa`ud dengan bantuan daripada hasil keuntungan petrol mereka. Pemerintahan kesultanan Sa`udi telah memperuntukkan sejumlah besar hasil keuntungan petrol mereka untuk menyebarkan dan mengembangkan mazhab ciptaan Britain ini di kalangan orang Islam. Kalaulah tidak kerana kekayaan yang besar itu tentulah mazhab Wahhabi tidak akan dapat bertahan sehingga ke hari ini.

Kelihatan bahawa unsur-unsur penjajahan (al-isti`mar) Britain begitu jelas menerusi mazhab tersebut dan mereka mengambilnya sebagai cara yang terbaik untuk mewujudkan perpecahan, pertelagahan, persengketaan, permusuhan, perselisihan dan pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Mazhab tersebut juga turut memperkuatkan dan memperkukuhkan matlamat penjajahan Britain dengan mengada-adakan fitnah di kalangan umat Islam seperti menuduh orang-orang Islam yang lain sebagai fasiq dan kafir.

Umat Islam yang tidak prihatin dan mempunyai pemikiran yang cetek dengan mudah diperdayakan oleh mereka sehingga akhirnya mereka sama ada secara sedar atau tidak, turut sama menyokong usaha-usaha mazhab Wahhabi dan Britain, bahkan melaksanakannya dalam kehidupan mereka menerusi perbuatan dan tindakan terhadap umat Islam lain yang disangkakan sebagai lawan-lawan mereka. Keadaan yang berlanjutan ini menyebabkan umat Islam menjadi lemah dan mudah diperkotak-katikkan oleh musuh-musuh Islam yang sebenar tetapi bertopeng dengan Islam.


Nota Hujung:

Artikel ini dipetik daripada kitab al-Wahhabiyyah fi al-Mizan oleh Profesor Ja`far al-Subhani.

2 Farid Wajdi, Da’irah Ma`arif al-Qarn al-`Isyrin, Vol. I, h.871; dipetik daripada Majalah al-Muqtataf, Vol. XXVII, h.893.

3 Munir al-Ajlani, al-Dawlah al-Sa`udiyyah al-Ula, Riyad, t.t, h.279-281.

4 Ahmad bin Yahya al-Yamani, al-Munyah wa al-`Amal fi Syarh al-Milal wa al-Nihal, 1988, h.114.

5 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.

6 Al-Alusi, Tarikh Najd, h.111-113.

7 Salah seorang pengarang `Uthmaniyyah menceritakannya dalam kitabnya, Tarikh Baghdad, h.152 tentang permulaan hubungan di antara Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan keturunan Sa`ud dengan cara yang berbeza tetapi kelihatan sama dengan apa yang diceritakan.

8 Al-Alusi, Tarikh Najd, h.117-118.

9 Tarikh Mamlakah al-`Arabiyyah al-Sa`udiyyah, Vol. I, h..51.

10 Ibid.

11 Lihat tulisan Dr. `Abd al-Jawwad, Tarikh Karbala’, h.112.

12 Untuk maklumat tambahan, lihatlah: al-Amini, al-Ghadir, Vol. I.

13 Al-`Amili, Miftah al-Karamah, Vol.V, h.653.

14 Al-Alusi, Tarikh Najd, h.90-91; Lihat sama: Ibn Taimiyyah, Risalah al-Hamwiyyah.

15 Hadir al-`Alam al-Islami, Vol.I, h.264.

16 Zaini Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, h.357.

17 Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyyah, h.4.

18 Al-Islam fi al-Qarn al-`Isyrin, h.108-109.

19 Lihat: Taqi al-Din al-Hasani, Daf` al-Syubhah.

20 Al-Amini, al-Ghadir, Vol. V, h.87-89; Ja`far al-Subhani, al-Wahhabiyyah fi al-Mizan, h.48. Risalah ini dikatakan terdapat dalam Kitab Takmilah al-Sayf al-Sayqal, h.190.

21 Untuk penelitian selanjutnya, lihat: Al-Jabarti, Kasyf al-Irtiyab, h.40.

22 Al-Kulayni, al-Kafi, Vol. I, h.54; al-Syirazi, Wasa’il al-Syi`ah, Vol. IX, h.510; al-Muhammadi al-Riyy al-Syahri, Mizan al-Hikmah, Vol. I, h.384.

23 Al-Syirazi, Wasa’il al-Syi`ah, bab 40, Vol. IX, h.510; al-Muhammadi al-Riyy al-Syahri, Mizan al-Hikmah, Vol. I, h.384-385.

24 Ibid.

Read More...

Menafsirkan Al Jama’ah dengan penafsiran yang lain


Apakah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum kedua orang ini (al Asy’ari dan al Maturidi), bermazhabkan dengan mazhab Ahl as Sunnah wa al Jama’ah, yang menurut penafsiran antum ialah mazhab Asy’ari atau maturidi? Dengan kata lain, apakah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya ialah orang Asy’ari atau Maturidi?



Hadits ke 1: (Pada buku Aktualisasi Paham Ahlusunnah Waljama’ah,oleh K.H Noer Iskandar Al-Barsany,Hal:7)
Artinya :”(Rasulullah saw) bersumpah demi zat yang menguasau jiwa muhammad,sungguh bakal terpecah menjadi 73 golongan.Maka yang satu golongan masuk surta,sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.Seorang sahabat bertanya,Siapakah golongan yang masuk ssurga itu ya rasulullah ? jawabnya: Yaitu golongan AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH (HR. at-Tabrani)

Hadits ke 2:
Artinya:
“Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri rodhiallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sunguh-sungguh kamu akan mengikuti/mencontoh tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal sama sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk kedalam lubang dhob (Dhob ialah binatang yang hidup di negeri arab, bentuknya serupa dengan biawak, akan tetapi dlob hanya memakan rerumputan, tidak pernah minum air, ia hanya minum air embun.-pen), niscaya kamu akan meniru/mencontoh mereka. Kamipun bertanya: Apakah (yang engkau maksud adalah) kaum Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi? (Muttafaqun ‘Alaih).

Hadits ke-3:
Artinya:
“Dari sahabat Abdillah bin ‘Amr rodhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Niscaya umatku akan ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, layaknya terompah dibanding dengan terompah (sama persis), hingga seandainya ada dari mereka orang yang menzinai ibunya dihadapan khalayak ramai, niscaya akan ada di umatku orang yang melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Seluruh golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabatpun bertanya: Wahai Rasulullah. siapakah satu golongan itu? Beliau menjawab: (golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan“. (Riwayat At Tirmizy, 5/26, hadits no: 2641, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 444).

Inilah karakteristik golongan selamat, yaitu golongan yang berpegang teguh dengan ajaran agama Islam yang diajarkan, didakwahkan dan diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam beserta sahabatnya.

Tatkala Nabi shollallahu’alaihiwasallam ditanya tentang siapakah golongan yang selamat dari neraka, beliau menjawab dengan menyebutkan kriteria (sifat)nya, bukan dengan menyebutkan nama orang. Ini merupakan isyarat bahwa yang menjadi ukuran dan barometer dalam menilai suatu golongan ialah: dengan melihat karakteristik, dan perilakunya, yaitu, sejauh manakah golongan tersebut menjalankan dan mencontoh ajaran dan amalan yang diterapkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, bukan dengan tokoh tertentu dari golongan itu, siapapun orangnya.

Apalagi bila orang tersebut hidup jauh dari masa kenabian, semacam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Manshur Al Maturidi, yang keduanya hidup pada abad keempat hijriah.
As Syathiby Al Maliky berkata:
“Singkat kata, bahwa sahabat-sahabat beliau shollallahu’alaihiwasallam senantiasa meneladaninya dan menjalankan petunjuknya, dan sungguh mereka telah mendapatkan sanjungan dalam Al Qur’an Al Karim, sebagaimana suritauladan mereka yaitu Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam telah mendapatkan sanjungan. Dan sesungguhnya perangai beliau shollallahu’alaihiwasallam ialah Al Qur’an (Beliau mengisyaratkan kepada perkataan ‘Aisyah -radliallahu ‘Anha-: “Adalah akhlaq Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ialah Al Qur’an”. (Riwayat Ahmad 6/91, dan Al Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibad hal: 87), Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung”. (QS. Al Qalam 4).

Dengan demikian Al Qur’anlah yang sebenarnya menjadi pedoman, sedangkan As-Sunnah berfungsi menjabarkannya, sehingga orang yang menjalankan As Sunnah, berarti ia telah menjalankan Al Qur’an. Dan para sahabat ialah orang yang paling banyak menjalankannya, sehingga setiap orang yang meneladani mereka, niscaya ia tergolong ke dalam golongan selamat, yang akan masuk surga, -atas kemurahan Allah- inilah makna sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:

“(golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan”.
Al Qur’an dan As Sunnah merupakan jalan lurus, sedangkan (dalil-dalil) yang lain berupa ijma’ (kesepakatan ulama’) dan lainnya adalah cabang dari keduanya.

Inilah kriteria ajaran yang diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, dan ini pulalah makna hadits ini dalam riwayat lain:

“Mereka itu ialah Al Jama’ah”

Dikarenakan tatkala Nabi shollallahu’alaihiwasallam menyabdakan hadits ini, (kabar terjadinya perpecahan umat Islam) Al Jama’ah memiliki kriteria ini”. [Al I’itishom, oleh As Syathiby 2/443].

Oleh karenanya, agama Islam hanya memiliki dua sumber hukum, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan selain kedua sumber hukum ini, bila bertentangan dengannya ditinggalkan. Inilah sebabnya mengapa para ulama’ dan imam senantiasa berwasiat kepada murid-murid dan pengikutnya agar senantiasa meninggal kan pendapatnya, bila dikemudian hari terbukti bertentangan dengan hadits, sebagai contoh:
Imam Malik bin Anas -pendiri mazhab maliki- berkata:

“Setiap manusia dapat diikuti perkataan (pendapat)nya, dan juga dapat ditinggalkan, kecuali penghuni kuburan ini shollallahu’alaihiwasallam (yaitu Nabi shollallahu’alaihiwasallam)”. [Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahaby 8/93].

Imam As Syafi’i, berkata:

“Bila ada hadits yang shahih, maka campakkanlah pendapatku ke dinding/pagar”. [Ibid 10/35].
Inilah karakteristik utama golongan selamat, yang dalam hadits lain disebut dengan Al Jama’ah:

Hadits ke-4:

Artinya:
“Dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda: “Dan (pemeluk) agama ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, dan (hanya) satu golongan yang masuk surga, yaitu Al Jama’ah”. (HRS Ahmad 4/102, Abu Dawud 4/198, hadits no: 4597, Ibnu Abi ‘Ashim 1/7, hadits no: 2, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 443, dan dishohihkan oleh Al Albani).

Dan yang dimaksud dengan Al Jama’ah ialah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Syamah As Syafi’i (w. 665 H): “Acapkali datang perintah untuk berpegang teguh dengan Al Jama’ah, maka yang dimaksudkan ialah: senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan para pengikutnya, walaupun orang yang berpegang teguh dengan kebenaran sedikit jumlahnya, dan orang yang menyelisihinya berjumlah banyak.

Hal ini karena kebenaran ialah ajaran yang diamalkan oleh Al Jama’ah generasi pertama semenjak Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya -radliallahu ‘anhum-, dan tidak dipertimbangkan banyaknya jumlah penganut kebatilan yang ada setelah mereka”. [Al Ba’its ‘Ala Ingkari Al Bida’ wa Al Hawadits, oleh Abu Syamah As Syafi’i, hal: 34].

Pernyataan beliau ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh As Syathiby pada ucapannya yang telah anas sebutkan di atas.
Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi (w. 792 H) berkata: “Dan Al Jama’ah ialah jama’ah kaum muslimin, dan mereka itu ialah para sahabat, dan seluruh orang yang meneladani mereka hingga hari qiyamat”. [Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah, oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi hal: 374].

Subhanallah! Tiga orang ulama’ yang saling berjauhan, tidak pernah saling bertemu, dan berbeda mazhab (*) sepakat dalam menafsirkan Al Jama’ah, bahwa mereka ialah para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan seluruh orang yang meneladani mereka, terlepas dari perbedaan mazhab fiqih atau daerah, atau organisasi dan guru.

(*) Abu Syamah bertempat tinggal di Baitul Maqdis Palestina, wafat pada thn: 665 H, dan bermazhabkan Syafi’i, As Syathiby bertempat tinggal di Andalus, wafat thn: 790 H, dan bermazhabkan Maliki, sedangkan Ibnu Abil ‘Izzi hidup di Damasqus, kemudian pindah ke Mesir, wafat pada thn: 792 H, dan bermazhabkan Hanafi. Kesepakatan pendapat ini bukan karena faktor kebetulan, akan tetapi karena ketiganya berbicara atas dasar ilmu yang bersumberkan dari sumber yang murni, yaitu Al Qur’an dan Hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam.

Perbedaan mazhab ketiganya tidak menjadikan masing-masing dari mereka mengklaim bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah mazhabnya sendiri, hendaknya hal ini menjadi peringatan dan pelajaran bagi orang yang menginginkan keselamatan bagi dirinya, baik di dunia ataupun di akhirat.

Al Jama’ah ini dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang artinya para penganut as sunnah dan persatuan. Dikatakan Ahlus Sunnah karena mereka benar-benar menerapkan As Sunnah dengan pemahaman ketiga, yang mencakup seluruh ajaran agama Islam yang murni. Dan Ahlul Jama’ah, karena mereka senantiasa menjaga persatuan yang dibangun diatas kebenaran.

Setelah jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah ialah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, para sahabatnya dan seluruh orang yang meneladani mereka, maka menjadi jelaslah bahwa siapa saja yang menafsirkan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah dengan golongan tertentu atau mazhab tertentu, penafsirannya tidak sesuai dengan fakta dan bertentangan dengan dalil. Bagaimana tidak, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sendiri tatkala dikonfirmasikan tentang maksud beliau dengan Al Jama’ah, beliau menjawab: (mereka ialah golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan”.

Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi siapapun untuk menafsirkan Al Jama’ah dengan penafsiran yang lain, baik dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi, sebagaimana yang dilakukan oleh Al Murtadha Az Zabidi, dan diikuti yang lainnya

Wassalam,

Read More...